Jumat, 28 Agustus 2015

Kampus Akademik VS Kampus Politik

Kampus Akademik Versus Kampus Politik

Kolom Rektor kali ini menyoroti apa yang saya sebut sebagai Kampus Akademik versus Kampus Politik. Sebuah kampus tentu saja seharusnya akademik. Maksudnya prinsip-prinsip akademik seperti berpikir objektif, mengandalkan kejujuran, berdasarkan fakta, serta cinta ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, merupakan ciri utama sebuah Kampus Akademik. Apa pula yang dimaksud dengan Kampus Politik? Senyatanya tentu tidak ada bulat-bulat apa yang disebut Kampus Politik, tetapi disebut demikian, karena saya ingin menekankan supaya setiap insan kampus waspada akan ciri-ciri sebuah kampus yang mungkin sekali dapat disebut sebagai Kampus Politik. Ciri-cirinya antara lain, para pejabat dan dosen gemar 'berpolitik', bahkan yang lebih diwaspadai lagi adalah kampus dijadikannya sebagai ranah miniatur baginya untuk berpolitik luar kampus.

Kita tahu bahwa di Kampus manapun ada sistem 'politik kampus', tapi politik kampus ini berbeda dengan politik luar kampus (atau politik negara). Jangan sampai politik kampus dicemari oleh kepentingan-kepentingan politik luar kampus. Kalau sudah tercemar, maka pejabat kampus dan dosen-dosennya memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut: gemar sekali dengan jabatan struktural; malas berangkat sekolah S2 dan S3(kalau sekolah pun cari yang cepat lulus, tidak peduli dengan mutu); malas membaca dan menulis ilmiah; suka kasak kusuk yang berujung pada kepentingan pribadi dan kelompok; suka eksklusif yakni berkelompok dengan teman-teman sekepentingan; mencapai sesuatu ingin cepat dengan cara menerabas dan lain sebagainya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip akademik.

Pada penghujung tahun 1992, tepatnya di bulan November saya kebetulan ada di Amsterdam Belanda. Kerja saya waktu itu menyelesaikan doktor dan saya beruntung mendapatkan kesempatan magang di dua universitas di Jerman dan Belanda. Di Jerman saya studi di Universitat Bielefeld di kota kecil Bielefeld yang indah dekat dengan kota Munich (saya suka menonton sepak bola dari kesebelasan kesayangan saya, Bayern Munich di kota ini). Di Belanda saya ditempatkan di Center of Southeast Asian Studies, Universiteit Amsterdam. Saya punya dua pembimbing yang saya hormati di dua universitas ini, yakni Prof. Georg Stauth di Bielefeld, dan Prof. Hans Dieter Evers di Amsterdam. Saya ingin menyinggung Universiteit Amsterdam karena suatu hari kami, para mahasiswa S3 kedatangan tamu dari Indonesia, yakni Prof. Harsya Bachtiar. Waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Balitbang Departemen kita, P dan K. Saya hanya ingin menyinggung debat saya dengan Prof. Harsya tentang Kampus Politik pada saat pertemuan itu. Kami berdua dari disiplin yang sama yakni Sosiologi, tapi pandangan kami agak berbeda dalam pendekatan. Saya sampaikan pada saat itu bahwa kampus-kampus di Indonesia sedang mengalami proses pembusukan, karena kultur politik cenderung lebih dominan ketimbang kultur akademik. Saya sarankan kepada Ka. Balitbang supaya mencari upaya yang signifikan untuk menyetop gejala yang tidak sehat bagi kampus ini. Sayangnya Prof Harsya hanya mengatakan bahwa: "Saudara Bustami, kita kan sama-sama sosiolog, tentu paham dan maklum kalau di dalam masyarakat wajar orang hidup berkelompok". Saya masih belum puas dan mengatakan: "Prof Harsya, jika proses pembusukan dibiarkan, tanpa suatu upaya yang stratejik dan sistematik mencegahnya, niscaya kultur akademik kampus akan sulit dikembangkan dan bahkan tenggelam".

Kayaknya sampai akhir pertemuan dan kemudian berpisah, kami tetap belum sepaham mengenai pendekatan yang ingin dilakukan. Akan tetapi dalam hati saya bertekad akan terus memerangi proses pembusukan kampus. Selama saya bertugas sebagai dosen di Universitas Jember, gagasan itu terus saya kobarkan ke pimpinan kampus, dosen dan mahasiswa. Saya tidak lelah-lelahnya bersikap dan berupaya supaya prinsip akademik menjadi pegangan utama bagi setiap pengelola kampus di manapun. Tanpa itu kampus akan menjadi sarang penyamun, rebutan kursi dan proyek. Saya pernah memulai kebiasaan di Senat Universitas, sehabis bertugas sebagai anggota senat menyampaikan nota akademik kepada seluruh anggota senat sebagai tanda perpisahan. Tidak hanya ucapan berpisah dan sekedar salam-salaman. Untuk segala sikap dan upaya itu barangkali, sekali lagi barangkali, pada tahun 1997 saya dianugerahi gelar dosen teladan tingkat nasional, yang menurut saya waktu itu, malu untuk menyandangnya.

Saya bersikap keras dalam soal yang satu ini. Sebuah Perguruan Tinggi tidak akan memiliki daya saing jika budaya akademik tidak tumbuh dengan baik di dalamnya. Sebagai rektor tentu tidak semudah bersikap dan bertindak seperti seorang dosen. Namun demikian, saya tidak akan menoleransi seandainya menurut perhitungan saya gejala tertentu akan sampai membusukkan suatu sistem akademik. Semua sikap dan tindakan yang akan mengarah kepada proses pembusukan hendaklah harus kita hindarkan dan dilawan. Demikian, salam (BR).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar